SULSEL – Kabupaten Luwu Utara yang berjuluk Bumi Lamaranginang, sedang Tana Rongkong dijuluki Bumi Lamarancina terletak di Sulawesi Selatan (Sulsel), memiliki banyak potensi dsn daya tarik wisata alam, objek destinasi wisata sejarah budaya, objek seni dan permainan rakyat.
Luwu Utara dengan luas wilayah 7502,58 kilometer persegi, dan di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah, disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur, disebelah selatan berbatasan dengan Kabuoaten Luwu dan teluk Bone, dan batas sebelqh barat berbatasan Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Toraja Utara.
Hal ini diungkapkan Ir Dewi Sartika Pasande, M.Sc Owner PT Jas Mukia yang juga Koordinator Bidang Luar Negeri Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) serta Ketua Umum Aliansi Kerukunan Rongkong (AKAR) Bersatu Indonesia.
” Bahwa, Kecamatan Rongkong Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, salah satu dari tiga kecamatan yang dipegunungan terpencil di Bumi Lamaranginang, yakni Kecamatan Rampi, Seko, dan Rongkong (Tana Masakke Lipu Maraninding) yang artinya aman, tenteram, damai dilandasi nilai-nilai kebersamaan dan rasa kekeluargaan,” sebut Dewi Sartika Pasande.
Masyarakat Rongkong adalah bahagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Luwu dan Toraja, baik hubungan kekerabatan maupun budaya dan adat istiadatnya.
Dikutip dari buku Mithologi I Lagaligo disebutkan bahwa, Sawerigading mempunyai sepupu satukali ada 40 orang dan salahsatunya ‘LAMARANCINA’ to Rongkong sebagai penguasa Tana Rongkong. Dan Lamarancina merupakan cikal bakal asal usul Tomakaka di Rongkong.
Dari sudut pandang budaya dan adat istiadat, Rongkong digelar ‘ULUNNA WARA SALANGKA’ MATANDENAPALOPO’, yang merupakan benteng pertahanan Kerajaan Luwu yang tangguh.
Nah, selanjutnya bahwa ada Situs di Rongkong, Situs Nek Malotong, Situs Marua dan Situs Batu Minganga, sehingga turun temurun masyarakat Rongkong, harus mengetahui ceritera atau mithos tentang Nek Malotong Tomakaka Kanandede (sekarang sudah satu desa).
Mithos, masa kecil Nek Malotong (digelar Nek Hitam karena lidahnya hitam/lotong).”Dia seorang pengembala kerbau. Ia mengabdikan diri kepada orang tuanya untuk mengembala kerbau miliknya, sejak lahir Nek Malotong memperlihatkan dan memiliki ciri fisik yang tidak dimiliki oleh orang lain, yakni lidahnya yang berwarna hitam.
Suatu ketika dalam pengembalaannya, Nek Malotong memperlihatkan keanehan. Hal ini menimbulkan tanda tanya dibenak kedua orang tuanya. Tidak seperti biasanya Nek Malotong, ketika hendak mengembala kerbau membawa bekal. Namun satu bulan terakhir Nek Malotong tidak membawa bekal untuk mengemvala kerbau. Ini sangat mengkwatirkan kedua orang tuanya.(ini diceriterakan Sunardi, S.Pd/ pernah Kepala seksi adat dan budaya pada Dinas Kebudayaan dan Parawisata, masa mantan Bupati Arifin Djunaidi).
Nah, rasa kwatir inilah yang membuat kedua orang tuanya mengintai apa gerangan yang terjadi pada diri Nek Malotong. Dan dalam pengintaian orang tuanya dilihatnya Nek Malotong naik kesebuah batu besar dan duduk diatas batu tersebut (yang dikenal Batu Minganga) yang terletak di Desa Kanandede, sekarang.
Seketika itu pula batu besar tempat Nek Malotong duduk, terbelah dan naiklah bermacam-macam makanan dan lauknya menjadi santapan Nek Malotong. Karena rasa penasaran kedua orang tuanya pada anaknya, bersamaan dengan itu pula Nek Malotong berhenti makan dan makanan yang muncul dari dalam batu besar itu, tidak lagi keluar.
Batu yang terbelah menjadi dua, sampai sekarang menjadi saksi sejarah yang dapat dilihat oleh cucu, cicit Nek Malotong yang diberi nama ‘BATU MINGNGA’ (batu terbelah) di Desa Kanandede Kecamatan Rongkong Luwu Utara.(Red)